Fiqhul Hadist Kitab Bulughul Marom Min Adillati Ahkam

Oktober 28, 2015


بسم الله الرحمن الرحيم
Muqoddimah Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqolany –rahimahullah-
Segala puji bagi Allah  yang telah mencurahkan ni’matNya baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, baik yang lama maupun yang  baru. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada nabi dan rosulNya Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa salam-, keluarga, para sahabat yang berjalan membela agama beliau dengan sungguh-sungguh, dan para pengikut beliau yang mewarisi ilmu mereka dan para ulama adalah pewaris para nabi. Alangkah mulianya mereka sebagai pewaris dan yang diwarisi.
Amma ba’du,
Ini adalah ringkasan yang mencakup dalil-dalil pokok / utama dari hadits-hadits yang berisi hukum-hukum syari’at. Aku telah menelitinya dengan sangat teliti  agar orang yang menghafalnya menjadi orang yang terkemuka diantara teman-temannya, dan agar ia bisa dijadikan oleh penuntut ilmu pemula sebagai buku yang membantunya, serta ia tetap dibutuhkan oleh orang yang menginginkan ilmu yang telah sampai pada puncaknya. Dan aku telah menjelaskan di akhir setiap hadits imam yang telah mengeluarkan hadits tersebut dengan tujuan menasihati ummat.
Maka yang dimaksud dengan:
“Yang tujuh” adalah: Ahmad, Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.
“Yang enam” adalah: (Semua yang telah disebutkan) selain Ahmad.
“Yang lima” adalah: (Semua yang telah disebutkan) selain Al-Bukhori dan Muslim. Namun terkadang aku juga mengatakan “yang empat dan Ahmad”. 
“Yang empat” adalah: (Semua yang telah disebutkan) selain tiga yang pertama.
“Yang tiga” adalah: (Semua yang telah disebutkan) selain tiga yang pertama dan yang satu yang terakhir.
”Al-Muttafaq” adalah: Al-Bukhori dan Muslim. 
Dan terkadang aku tidak menyebutkan bersama keduanya perowi yang lain.
Adapun selain itu, maka ia akan dijelaskan.

Aku menamakan kitab ini dengan “Bulughul Marom min Adillatil Ahkam”. Dan aku memohon kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- agar Dia tidak menjadikan apa yang kita ketahui  sebagai bencana / musibah bagi kita, dan agar Dia memberikan kepada kita karuniaNya untuk mengamalkan apa saja yang diridhoiNya –subhanahu wa ta’ala-.
Pendahuluan Penyusun
Oleh: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Wildan L.C.
إن الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له و من يضلل فلا هادي له. و أشده أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده و رسوله
{يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون}
{يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة و خلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا و نساءا و اتقوا الله الذي تساءلون به و الأرحام إن الله كان عليكم رقيبا}
{يا أيها الذين أمنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم و يغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله و رسوله فقد فاز فوزا عظيما}
أما بعد :
فإن أصدق الحديث كتاب الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه و سلم, و شر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار
 Sesungguhnya tatkala sunnah nabawiyyah berfungsi menetapkan, merinci, dan menyempurnakan apa yang ada di dalam kitabullah (Al-Qur’an), maka ia dianggap sebagai sumber kedua syari’at islam ini setelah Al-Qur’anul karim. Allah –subhanahu wa ta’ala- telah berfirman : 
{وما أنزلنا عليك الكتاب إلا لتبين لهم الذي اختلفوا فيه}
 “Dan tidaklah kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) melainkan agar engkau menjelaskan kepada mereka perkara yang mereka berselisih padanya”. 
Allah –subhanahu wa ta’ala- juga berfirman :
{وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا}
 “Dan apa yang diperintahkan rosul kepada kalian makan lakukanlah, dan apa yang rosul larang kalian darinya maka jauhilah”. 
Dan Allah telah berfirman dalam hadits qudsi tentang nabi Nya –‘alaihish sholatu wassalam- :
{ألا و إن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله} 
 “Ketahuilah, sesungguhnya apa yang diharamkan rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa salam- maka itu seperti yang diharmakan Allah –subhanahu wa ta’ala-“. 
 Dan dikarenakan sunnah nabawiyyah berada di posisi dan kedudukan seperti ini di dalam syari’at islam, maka para ulama’ terdahulu memberikan perhatian kepada sunnah ini dengan mengumpulkan dan membuat karangan yang berisi hadits-hadits tentang hukum. Diantara karangan-karangan ini yang paling terkenal adalah kitab-kitab sunnah yang empat yaitu : “Sunan Abu Dawud”, “Sunan At-Tirmidzy”, “Sunan An-Nasa’i”, dan “Sunan Ibnu Majah”.
 Demikianlah, karangan-karangan dalam masalah ini terus bermunculan dengan berbagai macam metode dan bentuk penulisannya, maka diantara kitab-kitab hukum yang paling penting adalah kitab “Al-Kubro”, “Al-Wushtho”, dan “Ash-Shughro” karya imam Abdul Haq Al-Isybily yang dikenal dengan Ibnul Khorroth, yang meninggal pada tahun 581 Hijriyah, kitab “Al-Muntaqo fii Akhbaril Mushthofa” karya imam Majdud Din Abdus Salam bin Abdillah bin Taymiyah Al-Harroni, yang meninggal pada tahun 652 Hijriyah, kitab “Al-Muharror fil Hadits” karya imam Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi Al-Maqdisy, yang meninggal pada tahun 744 Hijriyah, kemudian kitab “Bulughul Marom min Adillatil Ahkam” karya imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqolany, yang meninggal pada tahun 852 Hijriyah. Dan kitab inilah yang akan kami paparkan penjelasan ulama tentang hadits-haditsnya dalam bagian Fiqhul Hadits di website ini insya Allah ta’ala. 
 Pengarang kitab “Bulughul Marom” telah mengumpulkan di dalamnya -secara ringkas- dalil-dalil pokok / utama dari hadits yang berisi tentang hukum syari’at. Dan sumber utama kitab ini adalah dari “Kutubus Sittah”(kitab hadits yang enam), disamping itu juga “Musnad Ahmad”, “Shohih Ibnu Hibban”, “Shohih Ibnu Khuzaimah”, “Mustadrok Al-Hakim”, dan yang lainnya dari karangan-karangan dan kitab-kitab rujukan hadits. 
Dan kitab ini telah menjadi kitab yang sangat terkenal, dan mencuri perhatian banyak ahli hadits baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang. Bahkan sampai-sampai kitab ini dianggap sebagai kurikulum yang paling penting di banyak masjid, dan ma’had islam di negara-negara islam.
---------------------------
Kitab Thoharoh
(Bersuci)
Al-Imam Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan:
 “الطهارة” (bersuci) ada dua macam:
طهارة معنوية"” (Bersuci secara Ma’nawi / Abstrak).
Yaitu, bersuci dari kesyirikan dan dari seluruh akhlaq yang jelek, dimana seseorang tidaklah menyekutukan Allah –subhanahu wa ta’ala-, juga tidak menyimpan iri dan dengki kepada kaum muslimin, sehingga hatinya suci dan bersih. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman:
أولئك الذين لم يرد الله أن يطهر قلوبهم
 “Merekalah orang-orang yang ALLAH tidak ingin mensucikan hati-hati mereka”. 
Allah juga berfirman:
إنما المشركون نجس
 “Sesungguhnya orang musyrik itu najis”
Inilah najis secara ma’nawi yang lawannya adalah kesucian secara ma’nawi. Sebagaimana dalam sebuah sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda kepada Abu Huroiroh:
إن المؤمن لا ينجس
“Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis”. 
Nabi juga bersabda dalam hadits ‘Amr bin Hazm:
لا يمس القرأن إلا طاهر
“Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”. 
Maksud “orang yang suci” disini adalah “orang yang beriman” menurut salah satu dari dua pendapat, karena orang mu’min itu suci.
"طهارة حسية" (Bersuci secara Lahiriyah / Zhohir) 
Yaitu bersuci dari” hadats-hadats” dan “najis-najis”. 
Yang dimaksud bersuci dari ‘hadats-hadats” adalah bersuci dari hadats yang kecil dan yang besar. Maka orang yang terkena hadats, ia tidak membersihkan tempat yang terkena hadats melainkan ia membersihkan bagian-bagian lainnya yang tidak terkena hadats. Dan terkadang hadats itu tidak mengotori, seperti jika seseorang tidur atau ia terkena hadats dengan buang angin, maka tidak ada bagian yang wajib dicuci, akan tetapi wajib berwudhu. Maka inilah yang dimaksud bersuci dari hadats, dan ini bukan bersuci dari najis.
Adapun yang dimaksud dengan bersuci dari “najis-najis”, maka seperti tindakan seseorang mencuci badannya atau pakaiannya yang terkotori dengan najis, seperti jika tubuhnya terkena kencing atau kotoran atau yang semisal dengannya, maka ini dinamakan bersuci dari najis. 
 Dan perbedaan antara kedua nya adalah, bahwa bersuci dari hadats termasuk dari melaksanakan hal yang diperintahkan. Oleh karena itu harus diawali dengan niat menurut pendapat yang paling kuat, berbeda dengan pendapat nya Abu Hanifah. Maka seseorang itu –misalnya- berniat wudhu dari hadats, berniat mandi dari hadats dan seterusnya. 
Adapun bersuci dari najis maka tidak disyaratkan niat padanya. Oleh karena itu kalau seandainya ada seseorang yang mencuci pakaiannya karena kotor, dan pada pakaiannya terdapat najis lalu ia membersihkannya tanpa ada niat membersihkan najis, maka pakaiannya menjadi suci dengan cucian tersebut. Begitu juga jika seandainya hujan membersihkan pakaian seseorang dari najis hingga bersih, maka pakaian tersebut telah suci. Dan juga kalau seandainya najis tersebut dibersihkan dengan menggunakan bensin atau selainnya dari hal-hal yang bisa menghilangkan najis, maka pakaian tersebut menjadi suci, karena najis adalah suatu unsur yang kotor. Apabila kotoran tersebut hilang maka hilang juga hukumnya, sebab adanya hukum atau tidak adanya hukum itu bergantung pada sebabnya.
 Dan pembicaraan para ulama fiqh –rahimahumullah- itu berkisar pada kesucian yang bersifat lahiriyah / zhohir. Adapun mereka yang berbicara tentang perkara tauhid dan aqidah, maka kesucian yang mereka bahas adalah kesucian secara abstrak. Dan itu merupakan perkara dasar / pokok, yaitu sucinya hati seseorang dari kesyirikan, keraguan, kemunafikan, perasaan dendam, iri, hasad dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga hati seseorang itu suci lagi bersih. Dan kesucian yang bersifat abstrak ini lebih penting daripada kesucian yang bersifat lahiriyah. Akan tetapi manusia butuh kepada dua jenis kesucian ini, dan keduanya masuk ke dalam kitab Thoharoh. 
 Pengarang telah memulai kitabnya dengan kitab Thoharoh sama seperti para ahli fiqh dan ahli hadits lainnya yang mana mereka menyusun kitab-kitab mereka dengan susunan bab-bab fiqh. Dan hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, diantaranya :
Bahwasanya kesucian itu termasuk dari syarat sholat yang paling penting. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah –subhanahu wa ta’ala- :
يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم و أيديكم إلى المرافق
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melaksanakan sholat maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga ke siku”. 
Juga sebagaimana sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Allah tidaklah menerima sholat salah seorang diantara kalian apabila ia berhadats hingga ia berwudhu”. 
Bahwasanya kesucian adalah Takhliyah (pensucian dan pengosongan). Dan takhliyah itu dilakukan sebelum Tahliyah (penghiasan), maka sapulah rumah terlebih dahulu, kemudian hamparkan alas di atasnya, bersihkanlah kotoran yang ada di dalam bejana terlebih dahulu, kemudian cucilah. Oleh karena itu mereka memulai dengan kitab Thoharoh. 
Bahwasanya Thoharoh adalah syarat sahnya sholat yang paling banyak perincian dan cabangnya. Maka sesuailah memulai pembahasan dengannya.
Bahwasanya para ulama memulai dari masalah Thoharoh dengan tujuan menbersihkan keinginan/niat seseorang, sehingga seseorang tidaklah mengharapkan dengan menuntut ilmu itu selain wajah Allah –subhanahu wa ta’ala- dan negeri akhirat. Sebab orang-orang yang belajar itu bermacam- macam tujuan mereka. Diantara mereka ada yang tujuannya mendapatkan dunia, dan ada pula yang tujuannya negeri akhir. Dan orang-orang yang tujuannya adalah agar manusia melihat kepada mereka, atau orang-orang yang tujuannya dalam menuntut ilmu agar bisa mendapatkan kepemimpinan, atau kedudukan, atau hal-hal yang serupa dengannya dari perkara-perkara dunia, maka mereka tidaklah menuntut ilmu karena ALLAH, sebaliknya mereka berdosa. Oleh karena itu telah tertera dalam sebuah hadits :   
من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا, لم يجد عرف الجنة يوم القيامة. يعني : ريحها
“Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang diharapkan dengan ilmu tersebut wajah Allah –subhanahu wa ta’ala-, namun ia tidak mempelajarinya kecuali agar ia mendapatkan harta dunia, maka ia tidak akan bisa mencium wangi surga pada hari kiamat. 
 Oleh karena itu, maka saya mengajak diri saya sendiri, para penuntut ilmu dan juga saudara pembaca untuk mengikhlaskan niat dalam seluruh ibadah terlebih lagi dalam menuntut ilmu, sebab menuntut ilmu itu termasuk salah satu hal yang paling utama yang bisa mendekatkan diri seseorang kepada ALLAH, sebagaimana imam Ahmad berkata tatkala beliau ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau menjawab: “Tidak ada yang bisa menandingi ilmu bagi orang yang niatnya benar. Mereka (murid-murid) pun berkata lagi: “Dan bagaimana cara membenarkan niat?”. Beliau menjawab: “Seseorang meniatkan (dengan belajarnya) untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari manusia secara umum serta tidaklah ia meniatkan selain hal ini”. 
 Dan bisa juga dikatakan: Sesungguhnya apabila seorang penuntut ilmu meniatkan dengan belajarnya itu untuk menjaga syari’at, maka ini adalah niat yang baik, karena menjaganya termasuk perkara yang paling penting. Begitu juga jika ia meniatkan dengan belajarnya agar ia bisa beribadah kepada Allah diatas ilmu. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan: 
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
“Katakanlah (wahai Muhammad): Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?”. 
Orang yang beribadah kepada Allah diatas ilmu, maka ia akan mendapati dalam ibadahnya itu kelezatan dan rasa manis yang sangat besar, berbeda dengan orang yang beribadah kepada Allah tanpa didasari dengan ilmu.
 Bisa juga ditambahkan tujuan yang keempat, yaitu untuk berda’wah kepada agama Allah. Sebab berda’wah kepada agama Allah itu haruslah dibangun diatas ilmu. Siapa saja yang berda’wah kepada agama Allah dengan kejahilan maka bahayanya lebih banyak dibandingkan manfa’atnya. Dan bisa jadi tujuan ini termasuk dalam niat menghilangkan kejahilan dari diri manusia, akan tetapi karena pentingnya da’wah, maka aku menyebutkannya secara tersendiri. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman : 
قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا و من اتبعني
“Katakanlah (wahai muhammad): Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru kepada Allah diatas ilmu”.
(Fathu Dzil Jalaali wal Ikram bisyarhi Bulughil Maram 1 / 43-46)
----------------------------
Bab Al-Miyah
(Macam-Macam Air)
 Al-Imam Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- menjelaskan:
 Perkataan pengarang: “"باب المياه. Kata “Al-Miyah” dijama’ditinjau dari sumber-sumbernya. Karena air itu bisa jadi air laut, atau air dari awan, atau air sumur. Air hujan, adalah air yang berasal dari awan, seperti itu juga air yang ada di lembah-lembah, kolam-kolam dan yang semisalnya. Dan air laut, adalah sesuatu yang sudah diketahui. Begitu juga air sumur dan air sungai. Oleh karena inilah pengarang menyebutkannya dengan bentuk jama’. Dan jika tidak dilihat dari tinjauan tersebut, maka air itu satu jenis tidak disebut dengan bentuk jama’. 
 Dan air adalah elemen yang cair. Air termasuk sesuatu yang sangat mudah didapat, dan termasuk sesuatu yang paling mahal tatkala dibutuhkan. Terkadang satu bejana air tatkala sedang dibutuhkan bisa setara dengan seratus dirham. Jadi air adalah sesuatu yang mahal lagi murah. Oleh sebab itu para ulama mengatakan: “Jika ada seseorang menghancurkan satu geriba (kantung) air, yang mana satu geriba air tersebut di padang sahara setara dengan lima ratus dirham dan harganya di kota setara dengan dua dirham, maka apakah ia mengganti dengan harga lima ratus dirham atau dua dirham?. Jawabannya ia mengganti dengan harga yang pertama (lima ratus dirham). Karena air di daerah tersebut mahal.
 Dan tidak ada jalan untuk bersuci dari hadats kecuali dengan air baik untuk wudhu atau mandi, sebab Allah –subhanahu wa ta’ala- tatkala menyebutkan wudhu dan mandi, Dia berfirman:
فلم تجدوا ماء
“maka jika kalian tidak mendapati air”. 
Maka Allah menjadikan air sebagai alat untuk bersuci.
 Adapun bersuci dari najis maka bisa dengan menggunakan air atau selainnya. Segala sesuatu yang bisa menghilangkan najis, maka ia bisa mensucikan, baik itu air, atau bensin, atau elemen lainnya yang najis bisa hilang dengannya.
 Dan ada satu kaedah tentang air yang suci, yaitu, bahwa seluruh air yang turun dari langit atau memancar dari bumi, maka air tersebut suci dan bisa mensucikan. Air-air yang mengalir, baik air dari lembah yang mengalir, atau air kolam yang menggenang, atau genangan pada tanah yang berair, ataupun selainnya, semua itu suci baik air tersebut sudah lama atau baru sebentar, maka boleh bagi seseorang untuk berwudhu’ dan mandi junub dengannya dan tidak perlu mempertanyakannya, begitu juga dengan air laut.
(Fathu Dzil Jalaali wal Ikram bisyarhi Bulughil Maram 1 / 47)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »