Dahsyatnya Kalimat "Insyaallah"

Januari 31, 2019 Add Comment


وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاۡىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ ......

Terjemah Indonesian
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,”
kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.”........
( QS. AlKahfi (18) ayat 23-24 )

Telah menceritakan kepada kami Mu'alla bin Asad Telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Ayyub dari Muhammad dari Abu Hurairah, bahwa Nabiyullah Sulaiman 'alaihimassalam mempunyai enam puluh isteri dan berkata, "Sungguh, malam ini aku akan menggilir isteri-isteriku sehingga masing-masing isteriku hamil dan melahirkan seorang penunggang kuda yang berperang fi sabilillah.' Lantas Sulaiman menggilir isteri-isterinya, namun sama sekali tidak ada yang hamil selain satu orang isteri yang melahirkan separoh orang. Maka Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Kalaulah Sulaiman mengucapkan 'insya allah', niscaya setiap isterinya hamil dan melahirkan seorang anak yang berperang fi sabilillah."

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ لَهُ سِتُّونَ امْرَأَةً فَقَالَ لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى نِسَائِي فَلْتَحْمِلْنَ كُلُّ امْرَأَةٍ وَلْتَلِدْنَ فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَطَافَ عَلَى نِسَائِهِ فَمَا وَلَدَتْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ وَلَدَتْ شِقَّ غُلَامٍ قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ سُلَيْمَانُ اسْتَثْنَى لَحَمَلَتْ كُلُّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ فَوَلَدَتْ فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Terjemahan Hadis Riwayat Bukhari
No. Hadist: 6915 Shahih Bukhari, 77 - Buku Tauhid ; Bab: Kehendak dan keinginan.

Faedah :
Maka, seyogyanya seorang muslim dan muslimah untuk Selalu mengucapkan Kalimat "INSYAALLAH" ketika berjanji akan melakukan sesuatu diwaktu yang akan dan belum terjadi.

Akankah Diri Kita Terus Menerus Melakukan Dosa ?-Tafsir Surat Al-An'am (6:120)

Januari 21, 2019 Add Comment
وَذَرُواۡ ظَٰهِرَ ٱلْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ‌وٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْسِبُونَ ٱلْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُواۡ يَقْتَرِفُونَ 

Indonesian - Bahasa
Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi. Sungguh, orang-orang yang mengerjakan (perbuatan) dosa kelak akan diberi balasan sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.
Q.S Al-An'am (6:120)

Penjelasan Ayat :

(Wahai manusia), tinggalkanlah semua perbuatan maksiat, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat maksiat akan ditimpakan siksa kepada mereka karena dosa-dosa yang mereka kerjakan itu.

Allah melarang kaum Muslimin berbuat dosa, baik yang tampak dalam perilaku maupun yang tersembunyi. Dosa-dosa yang tampak ialah yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan anggota badannya, sedang dosa-dosa yang tersembunyi ialah yang tercermin dalam sikap dan hal lain yang tidak ditampakkan (perbuatan buruk yang disembunyikan), seperti menyombongkan diri, merencanakan kejahatan dan penipuan kepada manusia. Allah menyatakan dengan tegas, bahwa semua dosa harus ditinggalkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi dan Allah memberikan ancaman bahwa siapa pun yang berbuat dosa akan ditimpa siksaan yang berat, sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya, dengan cara sengaja dan terang-terangan. Adapun orang-orang yang berbuat dosa dan kejahatan karena kebodohan, kemudian mereka berhenti dengan melaksanakan tobat yang sungguh-sungguh, maka terhadap mereka, Allah akan memberikan ampunan dan menghapus dosa-dosanya, karena mereka telah berbuat kebajikan sebagai bukti tobatnya. Sebenarnya setiap kebaikan dapat menghilangkan kejahatan, sebagaimana difirmankan Allah: Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. (Hud/11: 114)

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَذَرُواْ ظَاهِرَ الاِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi.
Makna yang dimaksud ialah perbuatan maksiat secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan. Menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya, makna yang dimaksud ialah niat yang menggerakkannya untuk melakukan dosa.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 
وَذَرُواْ ظَاهِرَ الاِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi. (Al An'am:120) Yaitu dosa yang tersembunyi dan yang terang-terangan, yang sedikit dan yang banyak.

Menurut As-Saddi, dosa yang tampak ialah berbuat zina dengan pelacur-pelacur yang dilokalisasi, sedangkan dosa yang tersembunyi ialah berbuat zina dengan kekasih (yang belum dikawini), teman, dan gundik.

Menurut Ikrimah, dosa yang tampak ialah mengawini wanita yang masih ada kaitan mahram.

Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna yang umum mencakup keseluruhannya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi.” (Al-A’raf: 33), hingga akhir ayat.

Karena itulah dalam Firman selanjutnya disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الاِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُواْ يَقْتَرِفُونَ
<i>Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat) disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.</i>

Baik dosa yang terang-terangan ataupun yang tersembunyi, Allah Swt. pasti akan melakukan pembalasan yang setimpal terhadap para pelakunya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir, dari ayahnya, dari An-Nawwas ibnu Sam'an yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai definisi dosa. Maka beliau Saw. menjawab melalui sabdanya: 
الاِْثمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ عَلَيْه
Dosa itu ialah sesuatu yang terdetik dalam hatimu, sedangkan kamu tidak suka bila orang lain melihatnya.

Oleh karena itu (Dan tinggalkanlah) berhentilah kamu dari melakukan (dosa yang tampak dan yang tersembunyi) maksudnya dosa yang terang-terangan dan dosa yang tersembunyi; dikatakan bahwa yang dimaksud adalah perbuatan zina; dan dikatakan lagi adalah semua perbuatan maksiat. (Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan) pada hari kiamat (disebabkan apa yang telah mereka kerjakan) usahakan.

Referensi:
1. Tafsir ibn Kathir -Ind
2. Tafsir Al Muyassar -Ind
3. Tafsir Kemenag RI -Ind
4. Tafsir Jalalayn -Ind
5. https://goo.gl/w6rESk

Kajian Tauhid Dan Realisasinya Dalam Hidup

Januari 14, 2019 Add Comment
📝  Tauhid dan korelasi kemudahan dalam memahaminya
-----------
Tauhid itu secara umum artinya,
إفراد الله سبحانه وتعالى بما يختص به
"Menunggalkan atau mengesakan Allah subhaanahu wa ta'ala, pada apa-apa yang merupakan kekhususan bagi Nya"
Baik itu yang merupakan kekhususan dalam masalah rububiyah Nya, uluhiyah Nya, atau nama nama dan sifat sifat Nya (asma wa sifat).
****
PERTAMA
Adapun ta'rif (definisi) dari tauhid dalam masalah rububiyah itu adalah,
إفراد الله تعالى بأفعاله
"Menunggalkan atau mengesakan Allah subhaanahu wa ta'ala, dalam masalah perbuatan-perbuatan Nya"
Seperti mengesakan Allah dalam masalah penciptaan Nya, bahwa Allah lah satu satunya yang menciptakan makhluq Nya.
Mengesakan Allah dalam masalah rizqi Nya, bahwa Allah lah satu satunya yang memberikan rizqi kepada makhluq Nya.
Mengesakan Allah dalam masalah kekuasaan Nya, bahwa Allah lah satu satunya yang maha berkuasa atas segala sesuatu.
Mengesakan Allah dalam masalah pengaturan Nya, menghidupkan dan mematikan Nya. Bahwa Allah lah satu satunya yang mengatur segala sesuatu. Satu satunya yang menghidupkan dan mematikan.
Dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perbuatan perbuatan Allah.
Maka dari itulah disebut sebagai rububiyah. Karena rububiyah itu secara makna berarti mengatur, menciptakan, menguasai, memelihara, memiliki, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan perbuatan perbuatan Allah.
Rububiyah itu sendiri berasal dari kata "Rabb" yang berarti pengatur, penguasa, raja, yang memiliki, dan banyak lagi arti yang terkandung di dalam kata Rabb itu.
Sehingga secara mudahnya tauhid rububiyah itu diberi makna mengesakan Allah dalam segala macam perbuatannya. Karena perbuatan Allah itu banyak, dan terungkap dalam kata Rabb yang memiliki arti serta konsekuensi yang banyak juga.
***
KEDUA
Sekarang masalah tauhid dalam uluhiyah.
Ta'rif (definisi) dari tauhid dalam masalah rububiyah itu adalah,
إفراد الله تعالى بالعبادة
"Menunggalkan atau mengesakan Allah subhaanahu wa ta'ala, dalam masalah ibadah"
Bisa juga kita katakan, mengesakan Allah di dalam masalah haq Nya. Karena haq Allah itu adalah disembah dan diibadahi, setelah kita mengetahui rububiyah Allah, nama nama Nya, dan Sifat sifatnya yang tinggi lagi mulia.
Ini sebagaimana hadits Muadz berikut ini,
يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟
قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛
قَالَ : حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam bersabda,
"Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apa hak Allah terhadap para hamba Nya dan para hamba Nya kepada Allah?
Aku (Muadz) menjawab,
"Allah dan Rasul Nya yang lebih mengetahui"
Rasulullah kemudian berkata,
"Hak Allah terhadap para hamba Nya itu adalah hendaklah Dia saja yang diibadahi, dan tidak disyirikkan (disekutukan) dengan segala sesuatu apapun dalam masalah ibadah itu.
Dan hak para hamba Nya kepada Allah adalah, Allah tidak akan mengadzab hamba Nya yang tidak mensyirikkan Nya dengan sesuatu apapun. "
[Hr. Bukhari Muslim]
Karena ibadah itu luas cakupannya, baik itu yang berupa ibadah hati (seperti tawakal, ikhlas, dll) dan ibadah badan (yang terlihat).
Ataupun ibadah khusus seperti wudhu, Sholat, doa, kurban, zakat, puasa, haji, dan semisal. Dan ibadah umum seperti berakhlak baik dan berbuat baik kepada orang lain demi mengharapkan pahala dari Allah.
Maka ada juga yang mendefinisikan tauhid uluhiyah ini dengan,
إفراد الله بأفعال العباد
"Menunggalkan atau mengesakan Allah dengan perbuatan perbuatan para hamba Nya"
Kira-kira sudah faham kan korelasi dan maksudnya?
Adapun uluhiyah itu sebenarnya berasal dari kata "ilah", yang artinya yang disembah. Uluhiyah ini sama artinya dengan Ubudiyah. Ubudiyah itu dari ibadah, artinya peribadahan.
Jadi ma'luh (yang disembah) itu sama dengan ma'bud (yang diibadahi). Tauhid Uluhiyah itu sama saja dengan Tauhid Ubudiyah, hanya beda penggunaan kata namun artinya sebenarnya sama.
Adapun kalimat thoyyibah atau kalimat tauhid "laa ilaaha illallooh" itu memang secara definisi lebih mengacu kepada hak Allah. Lebih mengacu kepada tauhid uluhiyah ini. Namun ini tidak berarti jenis Tauhid lainnya itu tidak penting lho.
Semuanya penting, saling berkorelasi, dan terintegrasi jadi satu. Hanya saja manusia kadang lebih sering tergelincir di dalam masalah haq Allah, peribadahan, dibandingkan tergelincir pada jenis tauhid yang lain.
Namun ini bukan berarti yang tergelincir pada jenis tauhid yang lain tidak ada lho. Ada juga dan banyak. Orang yang menganggap ada wali yang ikut mengatur alam semesta itu misalnya. Itu berarti dia sudah tergelincir di dalam tauhid rububiyah, dan dia sudah melakukan kesyirikan rububiyah juga.
Takut sama yang mbaurekso, bisa memberikan manfaat dan tolak bala. Ini juga syirik rububiyah.
Hanya saja orang yang mengakui bahwa Allah itu yang mencipta, mengatur, memberi rizki, tapi menyerahkan bentuk ibadah seperti doa, sajen, larung, puasa, kurban penyembelihan kepada selain Allah itu umumnya lebih banyak.
Dan orang orang yang mengalami penyimpangan tauhid rububiyah umumnya juga akan mengalami penyimpangan tauhid uluhiyah.
***
KETIGA
Sekarang masalah tauhid dalam masalah nama nama dan sifat sifat Allah, atau yang lebih sering disebut tauhid asma' wa shifat.
Ta'rif (definisi) dari tauhid dalam masalah asma' wa shifat itu adalah,
إفراد الله سبحانه وتعالى بما سمى الله به نفسه ووصف به نفسه في كتابه أو على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم
"Menunggalkan atau mengesakan Allah subhaanahu wa ta'ala dengan nama-nama yang Allah telah menamakan diri Nya sendiri dengan itu, dan juga dengan sifat sifat yang Allah telah mensifatkan diri Nya sendiri dengan itu.
Sebagaimana yang Allah sebutkan sendiri di dalam kitab Nya (Al Qur'an), dan yang dikabarkan melalui lisan Rasulullah shalalloohu alaihi wa sallam"
Jadi intinya adalah, pada dasarnya Allah lah yang mengenalkan dan menjelaskan mengenai Dirinya sendiri melalui perantara wahyu dan Rasul utusan Nya.
Allah bukanlah tuhan yang didefinisikan berdasarkan kebudayaan, seni, dan filsafat logika manusia.
Maka dari itulah Islam disebut sebagai agama wahyu. Dan tidak disebut sebagai agama hasil kebudayaan, filsafat, dan hasil pemikiran seseorang.
Allah lah yang menurunkan wahyu dari langit yang tertinggi untuk mengenalkan dan menjelaskan mengenai dirinya, nama namanya, dan sifat sifatnya kepada para makhluq dan hamba Nya.
Agar makhluq Nya mengenali dirinya, namanya, dan sifat sifatnya sehingga makhluk Nya tidak salah dalam mengenali Tuhan sesembahannya. Tidak salah memberikan hak peribadahan kepada false God. Dan tidak salah dalam memahami perbuatan perbuatan rubiyah yang ada di alam semesta ini.
Inilah dasar dari agama wahyu ini dalam masalah tauhid ini.
*
Sekarang bagaimana kita memahami nama-nama dan sifat sifat Allah yang tercantum dalam wahyu dan pengkabaran Rasul Nya itu?
Yakni kita men tauhid kan nama dan sifat Nya dengan cara,
بإثبات ما أثبته من غير تحريف، ولا تعطيل، ومن غير تكييف، ولا تمثيل
"Dengan cara menetapkan apa yang telah Allah tetapkan baginya dengan tanpa merubah rubah maknanya. Dengan tidak berusaha untuk menihilkan dan meniadakan nama dan sifat itu. Dan juga dengan tidak menanyakan bagaimana hakikatnya ataupun mempermisalkannya dengan nama dan sifat makhluq".
Intinya, pokoknya kita harus beriman dan menetapkan sesuai dengan wahyu yang Allah turunkan dan hadits yang Rasulullah kabarkan mengenai nama-nama dan sifat sifat Allah.
Kita memahami makna kata yang Allah sebutkan, seperti Ar Rahiim yang artinya maha penyayang. Namun kita tidak menyamakan derajat kasih sayang Allah sama seperti derajat kasih sayang yang ada pada makhluq Nya.
Kita memahami dhohir makna nama dan sifat yang Allah sebutkan dalam mensifati diri Nya sendiri. Akan tetapi kita menyerahkan hakikatnya sesuai dengan ke maha sucian dan ketinggian Allah, yang tidak sama dengan makhluq Nya.
Demikianlah karakteristik agama wahyu itu.
*
Sekarang apa sih bedanya nama nama Allah dan sifat sifat Allah?
Bukankah nama nama Allah itu umumnya merupakan nama sifat, seperti Ar Rozzaq yang Maha memberikan rezeki, Al Hayyu yang Maha Hidup, dan yang semisal?
Ya benar, nama nama Asmaul Husna itu memang nama nama yang terbentuk dari sifat sifat Allah. Akan tetapi tidak semua sifat sifat Allah itu menjadi nama Allah.
Sampai sini semoga faham.
Jadi sifat sifat Allah itu lebih luas dan lebih banyak dibandingkan nama nama Allah. Ada sifat Allah yang kemudian menjadi nama Allah, dan ada juga yang tidak.
Sifat Allah itu juga dibagi menjadi dua :
Satu, Sifat Af'aliyah atau sifat perbuatan-perbuatan Allah. Yang mana ini terserah kepada Allah apakah Allah akan melakukan perbuatan itu ataukah tidak.
Dan yang kedua adalah sifat dzatiyah. Sifat yang selalu melekat dan ada pada Allah.
Misal, Allah memiliki sifat mengadzab dan memberikan hukuman keras kepada hamba Nya yang berbuat dosa dan kemaksiatan. Yang mana ini adalah sifat Af'aliyah Allah.
Namun apakah Allah kemudian memiliki nama "yang maha mengadzab" ? Tidak bukan?
Nah inilah maksudnya sifat sifat Allah itu lebih luas dan lebih banyak dibandingkan nama nama Allah. Ada sifat Allah yang kemudian menjadi nama Allah, dan ada juga yang tidak.
***
Jadi dari ketiga penjelasan mengenai macam macam jenis tauhid tadi, ada ulama yang kadang fokus membikin kitab dan tulisan yang menjelaskan mengenai kemaha besaran Allah. Mu'jizat ayat ayat Allah melalui pembuktian kacamata ilmu pengetahuan.
Nah ini berarti dia sedang fokus menjelaskan tauhid rububiyah Allah.
Ada juga ulama yang menulis kitab mengenai masalah kalimat tauhid laa ilaaha illallooh dan pemurnian ibadah. Bahaya syirik ibadah, bahaya jimat, sihir, dan semisal.
Ini berarti dia sedang fokus menjelaskan mengenai tauhid uluhiyah.
Dan ada juga ulama yang fokus membahas masalah cara memahami sifat sifat dan nama nama Allah, untuk membantah para sastrawan, budayawan, Sufi, dan pemuja filsafat yang seenaknya sendiri mensifati Allah sesuai dengan kecenderungan jiwa dan pikiran mereka.
Ini berarti dia sedang fokus menjelaskan mengenai tauhid asma wa shifat.
Akan tetapi sebenarnya ketiga tiganya itu saling berkorelasi, saling terintegrasi, dan merupakan kesatuan pemahaman yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh karena itu jika kita kembali kepada definisi Tauhid umum yang paling awal tadi, kita akan bisa memahami seluruh penjelasan ini.
Sekedar rehearsal untuk mengingatkan kita lagi, maka yang namanya Tauhid itu secara umum artinya adalah :
إفراد الله سبحانه وتعالى بما يختص به
"Menunggalkan atau mengesakan Allah subhaanahu wa ta'ala, pada apa-apa yang merupakan kekhususan bagi Nya"
Sudah terasa korelasi dan kemudahan untuk memahaminya kan sekarang?
***
Sekarang bagaimana kalau ada orang yang ngomong, pembagian tauhid menjadi tiga itu mengada ada dan menyerupai trinitas?
Haha, ini sebenarnya omongan orang yang terbongkar kedok kesyirikan nya.
Pembagian jenis tauhid ini sebenarnya merupakan istiqro', hasil penelaahan para ulama terhadap berbagai dalil yang ada guna memudahkan pemahaman.
Sama seperti rukun dan syarat sholat. Rasulullah tidak pernah menjelaskan syarat sholat itu ini, rukun sholat itu ini secara terperinci. Akan tetapi melalui Istiqro ulama, para ulama menyusun syarat dan rukun sholat itu agar kita benar dan sah dalam melaksanakan sholat dengan cara penjelasan yang mudah.
Jadi ini tujuannya untuk mempermudah pemahaman saja. Mempermudah bagaimana melaksanakan konsekuensi pemahaman itu juga.
Jika antum bisa memahami tauhid secara sempurna dengan tanpa melalui penjelasan dan pembagian jenis jenis tauhid itu maka silakan. Nggak masalah.
Jadi pembagian ini itu lebih berkaitan dengan pembagian wasilah untuk memahami. Bukan pembagian haqiqot yang berbeda beda sebagaimana trinitas.
Hmm, tadi disebutkan bahwa ini adalah omongan orang yang terbongkar kedok kesyirikan nya. Bagaimana itu maksudnya?
Ya karena dengan pembagian ini, memudahkan orang untuk memahami tauhid uluhiyah dalam masalah ibadah dan kesyirikan yang terjadi pada mereka.
Akibatnya mereka merasa terpojok dengan doa, sembelihan, puasa, sholat, yang mereka berikan di makam makam keramat para wali yang jelas merupakan kesyirikan walaupun mereka mengakui tauhid rububiyah bahwa Allah yang memberi rizki, mengatur, dan semisal.
Pembagian tauhid ini juga membongkar kedok kedok khurofat mereka yang menganggap ada wali wali quthub dan semisal yang ikut menguasai alam. Yang memiliki kemampuan menghalangi orang agar tidak masuk neraka, dan semisal. Yang mana ini merupakan syirik rububiyah.
Juga membongkar kedok mereka dalam memahami sifat sifat Allah dengan wihdatul wujud mereka. Manunggaling kawulo gusti. Menyatu dengan hamba Nya dan semisal. Yang mana jelas Allah dan Rasul Nya mengabarkan bahwa dzat Allah itu tinggi di atas langit yang tertinggi. Tidak bersatu dengan makhluq Nya. Dan ber istiwa' di atas Arsy Nya.
Dan secara penghasilan, ehem, ini juga akan membuat pengikut mereka lari dan pundi pundi uang yang mereka dapatkan dari pengikut mereka yang memuja muja mereka juga hilang.
Belum lagi ritual ritual ibadah syirik memuja wali, yang ini akan menghasilkan banyak uang bagi mereka.
Yang jualan jimat nggak laku. Foto foto wali diturunkan karena tidak boleh tabaruk cari berkah. Dan seterusnya.
Tapi umumnya sih ujung ujungnya masalah ekonomi yang terganggu. UUD, duit.
***
Jadi setelah melalui penjelasan yang cukup panjang tadi.
Maka sebenarnya mudah untuk memahami tauhid itu.
Betul?

PERBAIKI AKIDAH SEBELUM BERIBADAH

Januari 12, 2019 Add Comment
 


Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-

PERTANYAAN:

“Di sana ada yang menganggap remeh akan pentingnya akidah dan berpendapat bahwa iman saja sudah cukup.

Apakah Anda bisa menjelaskan betapa pentingnya perkara akidah bagi seorang muslim?

Dan bagaimana akidah itu akan memberi perubahan dalam hidupnya, hubungan dengan dirinya dan masyarakatnya serta yang lainnya dari orang-orang muslim?”

JAWABAN:

“Sungguh perbaikan akidah adalah landasan. Sebab syahadat bahwa laa ilaaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah adalah Rukun Islam yang pertama.

Dan para Rasul, awal yang mereka dakwahkan kepada umat yaitu pembenaran akidahnya, agar seluruh amal dan ibadah serta perilaku terbangun di atasnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿٨٨﴾


Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-An’aam: 88)


Yaitu : batal amalan-amalan mereka (karena akidah syirik).

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ ﴿٧٢﴾


Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Q.S. Al-Maaidah: 72.


Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾


Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Q.S. Az-Zumar : 65.

Dari nash-nash ini dan yang lainnya menerangkan pentingnya tashhih(perbaikan) akidah dan hal itu adalah seruan dakwah yang paling utama.

Awal penegakan dakwah adalah perbaikan akidah. Nabi –shalallahu ‘alaihi wasallam- berada di Makkah kurun waktu tigabelas tahun menyeru manusia untuk meluruskan akidah, mengajak kepada tauhid(mengesakan Allah dalam peribadahan).

Dan tidak diturunkan kewajiban-kewajiban(syariat) kecuali di Madinah. Ya, demikian.

Shalat diwajibkan kepada beliau(dan umatnya) di Makkah sebelum Hijrah, adapun syariat –syariat lainnya tidak lain diwajibkan setelah Hijrah.

Hal ini menunjukkan bahwa:

“Tidak dituntut untuk beramal KECUALI setelah pelurusan akidah”.

Adapun orang ini yang berujar bahwa :

“Cukuplah iman tanpa perlu perhatian terhadap akidah”

Ucapan ini tanaaqudh (saling bertentangan). Karena iman tidak akan menjadi iman kecuali apabila akidah lurus. Adapun jika akidahnya tidak shahih maka tidak ada iman dan tidak pula diin.”

Muntaqaa Fataawa Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 1/ 309 – 310.

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah

••••
📶 https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF]
🌍 www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com

::
🚇 AGAR AKIDAH DAN AMAL LURUS DAN SHAHIH
[Kewajiban Mempelajari Akidah dan Syariat secara Terperinci]

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan –hafizhahullah-


PERTANYAAN:
Apa kewajiban yang harus diketahui seorang muslim dari agamanya, tentang akidah dan syariat?



JAWABAN:

🗒 “Wajib atas seorang muslim  untuk memahami seluruh permasalahan agamanya, akidah dan syariat, dengan mempelajari permasalahan-permasalahan akidah, apa yang wajib padanya, apa yang berlawanan dengannya, apa yang menyempurnakannya, dan apa yang mengurangi kadarnya. Sehingga akidahnya menjadi akidah yang shahih dan selamat.

🗒 Wajib pula atasnya untuk mempelajari hukum-hukum agama yang amaliyah. Sehingga ia mampu menunaikan apa yang Allah wajibkan dan meninggalkan apa yang Allah haramkan atasnya, dengan dasar ilmu.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ﴿١٩﴾

__Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilaah (sesembahan Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.__ Q.S. Muhammad: 19.

Maka (perintah dalam ayat) dimulai dari ilmu sebelum berucap dan beramal.

Sehingga, suatu kelaziman untuk berilmu dan beramal. Ilmu tanpa amalan tidak cukup. Dan orangnya akan dimurkai. Ilmunya menjadi hujjah(argumen) yang menyerang orang tersebut. Sedangkan amalan tanpa ilmu tidak sah. Sebab hal itu adalah amalan yang sesat.

Dan Allah telah memerintahkan kepada kita untuk memohon perlindungan dari jalan orang yang dimurkai dan sesat di akhir surat Al-Fatihah, di setiap raka’at dalam shalat.”

📖 Muntaqaa Fataawa Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, 1/ 310 - 311.

📑 Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Yahya al-Maidany hafizhahullah

••••
📶 https://t.me/ForumBerbagiFaidah [FBF]
🌍 www.alfawaaid.net | www.ilmusyari.com

Hukum Mayoritas Dalam Syariat Islam

Januari 09, 2019 Add Comment

Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas.

Apa Itu Hukum Mayoritas ?

Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti, walaupun ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah .

Sejauh manakah keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknumnya (pengusungnya), yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakekat jati dirinya, sikapnya terhadap para rasul, atau pun keadaan mayoritas dari mereka, menurut kacamata syari’at. Karena dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.

Hakekat Jati Diri Manusia

Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul “amanat berat” yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjati diri dzalum (amat zhalim) dan jahul (amat bodoh). Allah berfirman:
إِِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاْلجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzaab: 72)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: ”Allah Ta’ala mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallafiin, yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan bukan keharusan, ”Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya bagimu pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum.” Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kedzaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya, maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya” (Taisiirul Kariimir Rahman, hal. 620)

Allah  Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِاْلبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ اْلكِتَابَ وَاْلمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Al-Hadiid: 25)

Sikap Manusia Terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka

Namun, demikianlah umat manusia… para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan dan dihinakan.
Allah berfirman:
ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانَتْ تَأْتِيْهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَكَفَرُوْا فَأَخَذَهُمُ الله إِنَّهُ قَوِيٌّ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang para rasul tersebut), maka Allah mengadzab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat hukuman-Nya.”
(Al-Mukmin: 22)

فَإِنْ كَذَّبُوْكَ فَقَدْ كُذّْبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوْا بِالْبَيّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيْرِ

“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali Imran: 184)

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَاْلأَحْزَابُ مِنْ بَعْدِهِمْ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُوْ لِهِمْ لِيَأْخُذُوْهُ وَجَادَلُوْا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوْا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ

“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya, dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh karena itu Aku adzab mereka. Maka betapa (pedihnya) adzab-Ku.” (Al-Mukmin: 5)

وَلَقَدِ اسْتُهْزِىءَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيْنَ سَخِرُوْا مِنْهُمْ مَا كَانُوْا بِهِ يَسْتَهْزِءُوْنَ

“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu adzab atas apa yang selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Anbiyaa’: 41)

Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Dari Mereka ?

Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:

1. Tidak beriman

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (Huud: 17)

2. Tidak bersyukur

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الله لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسٍ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (Al-Baqarah: 243)

3. Benci kepada kebenaran

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُوْنَ
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 78)

4. Fasiq (keluar dari ketaatan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُوْنَ
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq.”
(Al-Maidah: 49)

5. Lalai dari ayat-ayat Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ ءَايتِنَا لَغَافِلُوْنَ
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)

6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ كَثِيْرًا لَّيُضِلُّوْنَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’aam: 119)

7. Tidak mengetahui agama yang lurus.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ذلِكَ الدِّيْنُ القَيِّمُ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)

8. Mengikuti persangkaan belaka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)

9. Penghuni Jahannam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia.” (Al-A’raaf: 179)

Refleksi terhadap Hukum Mayoritas

Dari apa yang telah lalu, akhirnya kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat dzalim dan amat bodoh, penentangannya terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa, demikian pula mayoritas dari mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah , menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.

Demikianlah kacamata syari’at memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri???
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan..(Kitab Masail Al-ahiliyyah, masalah ke-5).

Asy-yaikh Shalih bin Fauzan Al-auzan berkata: “Di antara masalah jahiliyyah adalah; bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ الله إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah  ).” (Al-An’aam: 116)

Dia juga berfirman:
وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raaf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا ِلأَ كْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقُوْنَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji.

Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al-A’raaf: 102) Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal. 60).
Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah di atas?! Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”….., siang dan malam berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.

Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi….., kita harus menjunjung tinggi demokrasi, dan lain sebagainya.

Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo1 dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallahul Musta’an.

Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah dan syari’at-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Allah….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu untuk direfleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah telah berfirman tentang Nabi Nuh :
وَمَاءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيْلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Huud: 40)

Rasulullah  bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ …..
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. Al Bukhari no: 5705, 5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas).

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”.
(Taisir Al-‘Azizil Hamid, hal.106).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ الله إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah ).”
(Al-An’aam: 116)

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: “Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka?” (Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.” Beliau juga berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.61)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh berkata: “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya”. (Qurratu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1)

Bagaimanakah jika mayoritas berada di atas kebenaran?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya” (Yusuf: 103)
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al-An’aam: 116).” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal.62).

Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafus-Shalih.
Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syari’at Islam.

Wallahu A’lam Bish Shawab.

Url Sumber :http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=764

Tanya Jawab Masalah Aqidah

Januari 08, 2019 Add Comment

Pertanyaan Pertama
Apa tiga landasan/asas yang wajib diketahui oleh manusia?

Jawab:
Mengenal Robbb-nya
Mengenal Agamanya, dan
Mengenal Nabinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pertanyaan Kedua
Siapa Robbb kamu?

Jawab:
Robb-ku adalah Allah yang memeliharaku dan memelihara seluruh alam ini dengan segala nikmat-Nya. Dan Dia adalah sesembahanku tidak ada bagiku untuk beribadah selain kepada-Nya.
Dalilnya dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam Surah Al-Fatihah ayat 2:

“Segala puji bagi Allah, Robbb semesta alam”.

Pertanyaan Ketiga
Apa arti Robb?

Jawab:
Robb artinya Yang Memiliki, Yang Diibadahi, Yang Mengatur dan Yang Berhak Diibadahi.

Pertanyaan Keempat
Dengan apa kamu mengenal Allah?

Jawab:
Aku mengenal Robb dengan ayat-ayat dan makhluk-makhluk-Nya. Dan diantara yang lainnya adalah dengan adanya malam, siang, matahari dan bulan, dan diantara makhluk-makhluk Allah yang ada didalam 7 tingkat langit, dan yang berada didalam 7 tingkat bumi, dan seluruh yang ada diantara keduanya.
Dalilnya dari firman Allah Ta’ala dalam Surah Fush-shilat ayat 37:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah”.

Kemudian firman Allah ‘Azza wa Jalla wa Jalla dalam Surah Al-A’raf ayat 54:

“Sesungguhnya Robbb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Robbb semesta alam”.

Pertanyaan Kelima
Apa agamamu?

Jawab:
Agamaku adalah Islam, dan Islam adalah berserah diri, tunduk kepada Allah semata.
Dalilnya firman Allah Ta’ala dalam Surah Ali ‘Imran ayat 19:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.

Dalil lain dalam al-Quran firman Allah ‘Azza wa Jalla surah Ali ‘Imran ayat 85:

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.

Dan dalam surah al-Ma’idah ayat 3:

“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Pertanyaan Keenam
Atas suatu apa agama ini dibangun?

Jawab:
Agama ini dibangun atas 5 rukun: yang pertama kita bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan kita bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan Allah Ta’ala, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan, dan engkau berhaji ke Baitullah Haram jika mampu.

Pertanyaan Ketujuh
Apa itu Iman?

Jawab:
Engkau beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan beriman kepada Taqdir baik dan buruk-Nya.
Dalil dari al-Quran Surah al-Baqarah ayat 285:

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Robbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Robb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

Pertanyaan Kedelapan
Apakah itu Ihsan?

Jawab:
Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah melihatmu.
Dalil dari al-Quran Surah an-Nahl ayat 128:

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”.

Pertanyaan Kesembilan
Siapakah Nabimu?

Jawab:
Nabiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bin Abdullah bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim, dan Hasyim dari Quraisy, dan Quraisy dari Bani Kinanah, dan Kinanah dari Bangsa ‘ARobb, dan bangsa ‘ARobb dari keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim, Isma’il dari keturunan Ibrahim, dan Ibrahim dari keturunan Nuh, bagi mereka shalawat dan salam…

Pertanyaan kesepuluh
Dengan Dasar Apa Beliau Diangkat sebagai Nabi dan Rasul?

Jawab:
Beliau diangkat menjadi Nabi dengan Surah Iqra’ (ayat 1-red):

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan”.

Dan diangkat menjadi Rasul dengan Surah al-Mudatstsir (ayat 1-red):

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!”

Pertanyaan Kesebelas
Apa mukjizat beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)?

Jawab:
Adalah al-Qur’an yang merupakan mukjizat yang terbesar dan tidak akan ada yang mampu untuk mendatangkan satu surat saja yang semisalnya, dan mereka tidak akan mampu membuat seperti al-Quran itu. Padahal mereka (orang Quraisy/kafir ARobb) itu adalah bangsa yang fasih dengan bahasa mereka. Perlawanan mereka sangatlah keras terhadap orang ayng mengikuti al-Quran tersebut.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 23:

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.

Dalam ayat lain Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, Surah al-Isra’ ayat 88:

“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Pertanyaan Keduabelas
Apa dalil bahwasanya beliau (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) utusan Allah?

Jawab:
Firman Allah Ta’ala dalam Surat Ali Imran ayat 144:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

Dan firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Fath ayat 29:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”

Pertanyaan Ketigabelas
Apa dalil kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Jawab:
Dalil atas kenabian beliau adalah firman Allah Ta’ala dalam Surat al-Ahzab ayat 40:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[1223]., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Ayat ini menunjukkan bahwasanya beliau adalah nabi dan penutup dari para nabi.

Pertanyaan Keempatbelas
Apakah misi diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Allah Ta’ala?

Jawab:
Beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, dan tidak menjadikan beserta Allah subahanahu wa ta’ala “ilah-ilah” yang lain. Melarang manusia beribadah kepada makhluk-makhluk Allah: malaikat-malaikat-Nya, nabi-nabi-Nya, orang-orang shaleh, batu-batuan dan pohon-pohon karena semuanya adalah makhluk-Nya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Surat al-Anbiya’ ayat 25:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”

Dan firman Allah Ta’ala dalam Surat an-Nahl ayat 36:

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut…”

Dan dalil yang lain, firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Surat az-Zukhruf ayat 45:

“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?”

Dalam ayat lain Allah berfirman, Surat adz-Dzariyat ayat 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Maka ketahuilah, dengan demikian sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan makhluk-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya saja, dan mengutus para rasul kepada hamba-Nya untuk mengajak kepada seruan itu (beribadah kepada-Nya saja).

Pertanyaan Kelimabelas
Apakah perbedaan Tauhid Rububiyyah dengan Tauhid Uluhiyyah?

Jawab:
Tauhid rububiyyah adalah perbuatan Robb, yang mencakup penciptaan, Pemberian Rezeki, Menghidupkan dan Mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, dan mengatur segala urusan .
Tauhid uluhiyyah adalah perbuatan hamba, yang mencakup berdoa, takut, harap, tawakkal, taubat, cinta, cemas, bernadzar, istighatsah dan selainnya yang mencakup masalah-masalah/jenis ibadah.

Sumber : Kutaib Dalaailu at-Tauhidi Mas-uulan wa Jawaaban fi al-‘Aqiidati
Darul Qasim
Karya Syaikh Muhammad bin Sulaiman at-Tamimiy rahimahullah


http://thullabul-ilmiy.or.id/modules/news/article.php?storyid=54