Semua Tentang Isa Alaihis Salam !!! Isa Diangkat oleh Allah dan Akan Turun menjelang Hari Kiamat .

Desember 21, 2018 Add Comment

Isa Alaihis Salam Tidak Disalib dan Dibunuh !!!
Termasuk isyarat akan turunnya Isa Alaihis salam adalah berita tentang diangkatnya Nabi Isa Alaihis salam -ruh dan jasadnya- ke langit dalam keadaan masih hidup. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. 
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (an-Nisaa’: 157-159)

Dalam ayat ini kita mendapatkan beberapa pelajaran penting, diantaranya:
1.             Nabi Isa Alaihis salam tidak dibunuh dan tidak disalib, melainkan Allah angkat kepada-Nya, yakni dari kalimat: -bal rafa’ahullahu ilaihi- yang bermakna “Bahkan Allah angkat kepada-Nya”.

2.             Para ahlul kitab akan beriman kepadanya sebelum kematian Nabi Isa Alaihis salam. Ini merupakan isyarat bahwa Isa Alaihis Salam sebelum meninggalnya akan turun ke dunia dan ahlul kitab akan beriman kepadanya.

Ayat-ayat tentang Turunnya Nabi Isa Alaihis Salam
Diantara tanda-tanda hari Kiamat Kubra adalah turunnya nabi Isa Alaihis salamsebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih dan mutawatir.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan tentang turunnya Isa Alaihis salam sebagai tanda datangnya hari kiamat dalam firman-Nya:
Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun. Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar sebagai ilmu tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kalian ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (az-Zukhruuf: 57-61)
Ayat terakhir dalam Firman Allah di atas yaitu –wa innahu la’ilmun lissaa’ati-  bermakna “Beliau Alaihis salam  merupakan ilmu tentang hari kiamat”.
Disebutkan dalam Tafsir al-Qurthubi bahwa yang dimaksud adalah turunnya nabi Isa Alaihis salam merupakan ilmu tentang dekatnya hari kiamat. Lebih didukung lagi dengan bacaan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid dan lain-lain dari para imam ahlut tafsir yaitu –la’alamun-  dengan difathahkan huruf ‘ain dan lam-nya menjadi ‘alamun yang bermakna “tanda” (yang berarti “Isa Alaihis salamsebagai tanda hari kiamat”  -pen.). (Tafsir al-Qurthubi (16/ 105); lihat pula Tafsir ath-Thabari (25/90-91))
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya kepada Ibnu Abbas bahwa beliau berkata ketika menafsirkan –la’ilmun lis saa’ati- : “Yang dimaksud adalah keluarnya Isa Alaihis salam sebelum hari kiamat”. (Musnad Imam Ahmad: 4/329 no. hadits 2921 dengan tahqiq Ahmad Syakir dan beliau berkata: “Sanadnya Shahih”)

Hadits Tentang Turunnya Isa Alaihis Salam
Ketika para shahabat sedang duduk-duduk membicarakan tentang hari kiamat, muncullah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada mereka:  “Apa yang sedang kalian bicarakan?” Maka para shahabat menjawab:  “Hari Kiamat”.
Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya hari kiamat tidak akan terjadi sehingga terjadinya sepuluh tanda-tandanya. Ditenggelamkannya ke dalam bumi di tiga negeri di timur, barat dan jazirah Arab; munculnya asap, Dajjal, binatang melata di bumi (yang dapat berbicara), Ya’juz dan Ma’juz, terbitnya matahari dari barat, apa yang muncul dari dasar ‘Adn yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya. (Dalam riwayat lain): yang kesepuluh turunnya Isa bin Maryam Alaihi sallam .’ (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Abu Dawud)
Penjelasan lebih rinci tentang Turunnya Isa Alaihis Salam terdapat dalam hadits-hadits yang shahih, diantaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya RasulullahShallallahu alaihi wa sallambersabda:
 “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh akan turun di tengah kalian Ibnu Maryam Alaihis salam sebagai hakim yang adil. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi dan menggugurkan jizyah serta membagikan harta hingga tidak ada yang menerimanya seorangpun.
Kemudian Abu Hurairah berkata: “Bacalah oleh kalian –jika kalian mau—ayat: “Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (an-Nisaa’: 159) (HR. Bukhari Muslim)
Disamping nash yang jelas dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang akan turunnya IsaAlaihis salam, riwayat Abu Hurairah di atas memberikan pelajaran yang sangat penting bagi kita, yaitu tafsir seorang shahabat dan pemahaman salaf terhadap ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an-Nisaa’ ayat 159 bahwa ahlul kitab akan beriman sebelum hari kiamat adalah ketika turunnya Isa Alaihis salam.
Dengan jelas Abu Hurairah mengatakan bahwa ayat ini mengisyaratkan turunnya Nabi IsaAlaihis salam di akhir zaman menjelang hari kiamat. Sedangkan kita mengetahui bahwa pemahaman para shahabat adalah pemahaman yang paling dekat dengan kebenaran, karena mereka telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah dan Rasul-Nya sebagai umat yang terbaik, golongan yang selamat dan dijamin dengan keridlaan dan surga.
2. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Bagaimana kalian jika diturunkan di tengah kalian Ibnu Maryam, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian.’ (HR Bukhari dan Muslim).
3. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, beliau mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:  ‘Akan tetap ada segolongan umatku yang berperang di atas kebenaran dalam keadaan menang sampai hari kiamat. Kemudian turun Isa ibnu Maryam Alaihis salam, maka berkatalah pemimpin mereka: “Kemarilah memimpin sholat kami”. Maka ia pun berkata: ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian memimpin sebagian yang lain, sebagai kemuliaan yang Allah berikan kepada umat ini.”(HR Muslim).
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhubahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para Nabi adalah seperti saudara sebapak, ibu mereka berbeda tapi agama mereka satu. Sesungguhnya akulah yang paling berhak dengan Isa Ibnu Maryam karena tidak ada antaraku dan dia seorang nabi pun. Sungguh dia akan turun, maka jika kalian melihatnya kenalilah dia! Dia adalah seorang yang berkulit antara merah dan putih dalam keadaan berpakaian dua kain yang bercelup ja’faran, rambut-nya seperti meneteskan air padahal tidak basah. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi, menggugurkan jizyah, dan mengajak manusia kepada agama Islam. Allah binasakan pada zaman-nya seluruh agama-agama selain Islam. Allah binasakan juga Dajjal. Maka terjadilah keamanan di muka bumi hingga singa-singa merumput bersama dengan unta-unta, macan-macan dengan sapi-sapi, dan serigala-serigala dengan domba-domba, serta anak-anak kecil bermain dengan ular-ular dengan tidak memberikan madharat sedikit pun kepada mereka. Demikianlah berlangsung selam empat puluh tahun, kemudian beliau meninggal dan dishalatkan oleh kaum muslimin.” (HR Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
5. Hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat yang diantaranya menyebutkan akan turunnya Isa Alaihis salam yaitu hadits Hudzaifah Ibnu Usaid dan lainnya dalam Shahih Muslim dan lain-lain.
Kami tidak memuat seluruh hadits-hadits tentang turunnya IsaAlaihis salam karena terlalu banyaknya. Sebagian riwayat terkandung dalam kisah Dajjal, sebagian lainnya diriwayatkan berkenaan dengan hadits-hadits Imam Mahdi. atau riwayat-riwayat yang khusus menceritakan tentang turunnya Isa Alaihis salam di akhir zaman.
Hadits-hadits tersebut dimuat di hampir seluruh kitab-kitab hadits. Dalam kitab-kitab Shahih terutama Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dan lainnya; dalam kitab-kitab sunan seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan lain-lainnya; ataupun dalam musnad-musnad seperti Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya.
Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika dikatakan hadits-hadits tersebut berderajat Ahad, apalagi menyatakan hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai sebagai hujjah, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok sesat mu’tazilah dan para pengikutnya atau kelompok kafir Qadiyaniyah Ahmadiyah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nabi Isa Alaihis salam masih hidup sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kitab Shahih (Bukhari dan Muslim -pen.) Dan akan turun sebagaimana telah tsabit dalam hadits nabiShallallahu alaihi wa sallam : Akan turun di tengah kalian Isa bin Maryam Alaihis salam sebagai hakim yang adil dan Imam yang bijaksana. Ia akan memecahkan salib-salib, membunuh babi-babi dan menggugurkan jizyah. (Bukhari Muslim)”. (Majmu’ Fatawa, jilid 4/322)

Aqidah Para Ulama tentang turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam

Diangkatnya Nabi Isa Alaihis salam dan akan turunnya beliau di akhir zaman merupakan aqidah para shahabat, para tabi’in, para ulama serta para imam Ahlus Sunnah sepanjang zaman.
Ibnu Katsir Rahimahullahberkata: “Telah mutawatir hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa Nabi IsaAlaihis salam akan turun sebelum hari kiamat sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana.” (Tafsir Ibnu Katsier, juz 7 hal. 223)
Berkata Shiddiq Hasan Khan: “Hadits-hadits tentang turunnya Isa Alaihis salam sangat banyak. Telah disebutkan oleh Imam Asy-Syaukani, di antaranya ada 29 hadits antara shahih, hasan dan hadits lemah yang terdukung. Di antaranya ada yang disebut bersama kisah Dajjal, ada pula yang disebut bersama hadits-hadits tentang Imam Mahdi, ditambah lagi atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para shahabat yang tentunya memiliki hukum marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ), karena perkara Dajjal bukanlah masalah ijtihad”. Kemudian beliau menyebutkan semua hadits tentang Dajjal. Setelah itu beliau Rahimahullahberkata: “Seluruh apa yang kami nukilkan ini telah mencapai derajat mutawatir sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu” (Al-Idza’ah, hal. 160, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyratu as-Sa’ah)
Telah ditulis oleh para ulama hadits tentang Isa Alaihis salam, ternyata didapati dari 25 para shahabat dinukil dari mereka oleh 30 tabiin dan dinukil dari tabi’in oleh atba’ut tabi’in lebih banyak lagi.
Berkata Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq al‘Adhim Abadiy: “Telah mutawatir berita-berita dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang turunnya IsaAlaihis salam dari langit dengan jasadnya ke bumi ketika telah dekat hari kiamat. Ini merupakan madzhab ahlus sunnah. (Aunul Ma’bud, 11/457)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir Rahimahullah: “Turunnya IsaAlaihis salam di akhir zaman adalah perkara yang tidak diperselisihkan sedikit pun oleh kaum muslimin, karena tersebutnya berita-berita yang shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentangnya. Ini perkara yang sudah dimaklumi dalam agama secara aksiomatis, dan tidak beriman orang yang mengingkarinya. (Footnote Tafsir ath-Thabari dengan tahqiq Mahmud Syakir, cet. Daarul Ma’arif, Mesir, juz 6 hal. 460)
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullah: “Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal, dan turunnya Isa Alaihis salam adalah berita-berita yang mutawatir, waka kita wajib beriman dengannya. Jangan tertipu dengan orang-orang yang menyatakan hadits-hadits tersebut adalah hadits ahad, karena mereka adalah orang-orang yang bodoh tentang ilmu ini. Tidak ada di antara mereka yang menelusuri dan meneliti hadits-hadits tersebut dengan jalan-jalannya. Kalau saja ada yang mau menelitinya, niscaya dia akan mendapati hadits-hadits tentang ini mutawatir, sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ulama seperti Ibnu Hajar dan lain-lainnya.
Sungguh sangat disayangkan munculnya orang-orang yang lancang, terlalu berani berbicara pada perkara-perkara yang bukan pada bidangnya. Apalagi urusannya adalah urusan aqidah dan agama. (Takhrij Syaikh al-Albani terhadap Syarh Aqidah ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, hal. 501)
Para ulama memasukkan masalah turunnya Isa Alaihis salam dalam kitab-kitab aqidah dan prinsip-prinsip sunnah yang mereka susun seperti Abu Ja’far ath-Thahawi Rahimahullahdalam Aqidah ath-Thahawiyah, Abu Bakar Muhammad bin Husein al-Aajurri Rahimahullahdalam asy-Syari’ah dan Imam Ahmad Rahimahullahdalam ushuulus Sunnahnya.
Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’iy Rahimahullah (ahlul hadits dari negeri Yaman): “Hadits-hadits tentang turunnya Isa Alaihis salam dan keluarnya Dajjal menurut para ulama adalah mutawatir. Namun mereka yang menjalani jalannya Jamaluddin, orang Iran yang mengaku afghani, sangat bermudah-mudahan dalam menolak dan mencerca hadits-hadits tersebut atau menyelewengkan maknanya kepada makna lain. Aku peringatkan kepada para penduduk Mesir dan tokoh-tokoh ulama Mesir untuk membersihkan negerinya dari pemikiran-pemikiran liberalis. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan taufiq, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ruduud Ahlul Ilmi, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wad’i, hal. 25)
Berkata Qadli ‘IyadRahimahullah: “Turunnya IsaAlaihis salam dan dibunuhnya Dajjal olehnya adalah haq dan shahih menurut para ulama ahlus sunnah, karena hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Dan tidak ada sesuatu pun yang bisa diingkari dalam syari’at maupun dalam akal yang sehat. Maka Wajib menetapkannya. (Lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 18, hal. 75)

Bantahan terhadap para pengingkar dengan alasan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah penutup para nabi.
Berkata Imam NawawiRahimahullah: “Perkara ini telah diingkari oleh sebagian mu’tazilah, aliran Jahmiyah dan orang-orang yang mencocoki mereka dengan menganggap bahwa hadits-hadits ini tertolak dengan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala: Dan dia adalah penutup para nabi. (al-Ahzaab: 40), Dan dengan ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : Tidak ada nabi setelahku. (HR. Muslim). Dan dengan ijma’ kaum muslimin bahwa tidak ada nabi setelah nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam . Dan bahwasanya syariat Islam ini kekal sampai hari kiamat dan tidak dimansuhkan (tidak dibatalkan).
Ini adalah pendalilan yang rusak, karena tidaklah yang dimaksud dengan turunnya IsaAlaihis salam adalah turun sebagai Rasul yang membawa syariat yang baru, yang memabatalkan syariat kita. Tidak ada dalam hadits-hadits ini maupun yang lainnya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan telah shahih hadits-hadits tersebut dan dalam Kitabul Iman dan lain-lainnya bahwa Nabi Isa Alaihis salam turun sebagai hakim yang adil dengan hukum syariat kita. Dan menghidupkan perkara-perkara syariat-syariat kita yang sudah mulai ditinggalkan oleh manusia. (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz 18, hal. 278)
Imam adz-Dzahabi Rahimahullah memasukkan Isa Alaihis salam dalam kitabnyaTajridu As-mai ash-Shahabah(tentang nama-nama shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam), kemudian beliau berkata: “IsaAlaihis salam adalah seorang shahabat dan sekaligus seorang nabi. Karena ia sempat bertemu dan melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada malam Isra’ dan Mi’raj. Maka beliau adalah shahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang paling terakhir wafatnya. (Tajridu Asmai ash-Shahabah Hal. 432; melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 356)
Berkata Imam al-Qurthubi Rahimahullah: “Suatu kaum berpendapat bahwa dengan turunnya Isa Alaihis salam berarti akan terangkat beban syariat (nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam–pen.), karena Isa Alaihis salam turun sebagai Rasul yang terakhir di zaman tersebut, memerintahkan mereka dengan wahyu dari Allah. maka tentunya yang ini adalah batil dan tertolak karena Allah Subhanahu wa Ta’alamenyatakan bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi (dalam Q.S. al-Ahzaab ayat 40). Dan juga terbantah dengan hadits: “Tidak ada nabi setelahku” (Shahih Muslim) dan hadits: “Saya adalah penutup” (Shahih Bukhari). Yang dimaksud adalah beliauShallallahu alaihi wa sallam adalah nabi terakhir dan penutupnya”.
Oleh karena itu jangan dianggap bahwa Isa Alaihis salamturun sebagai rasul dengan syariat yang baru selain syariat RasulullahShallallahu alaihi wa sallam. Bahkan beliau turun sebagai pengikut Nabi MuhammadShallallahu alaihi wa sallamsebagaimana dikabarkan dalam hadits, ketika RasulullahShallallahu alaihi wa sallambersabda kepada Umar Radhiyallahu anhu: “Jika saja Isa masih hidup, niscaya tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikutiku.”
Maka turunnya Isa Alaihis salam dalam keadaan telah mengetahui perintah AllahSubhanahu wa Ta’ala sejak di langit sebelum turunnya. Yaitu mengetahui ilmu syariat ini untuk menghukumi di antara manusia dan beramal bagi dirinya. Maka berkumpullah orang-orang beriman mengikutinya dan dia menghukumi mereka dengan syariat Islam. (at-Tadzkirah, hal. 67-68, melalui nukilan Yusuf al-Waabil dalam Asyrathu as-Sa’ah, hal. 360-361).

Bantahan bagi para pengingkar dengan alasan ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 55: Inni Mutawaffiika
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah: “Adapun ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyatakan: “Ketika Allah berfirman kepada Isa: “Akume”’wafat”kanmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta mensucikanmu dari orang-orang kafir… “(Ali Imran: 55), bukanlah berarti mematikan Isa Alaihis salam, karena kalau yang dimaksudkan adalah kematian, maka berarti Isa sama dengan orang-orang mukmin lainnya, yakni dicabutnya ruh mereka dan dibawanya ke langit. Hal ini berarti Nabi Isa tidak memiliki keistimewaan apapun.
Demikian pula ucapan Allah “wa muthahiruka minaladziina kafaru”, kalau ruhnya terpisah dari jasadnya berarti jasadnya tetap di bumi seperti badannya para nabi yang lain…. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 322-323)
Berarti jasadnya tetap disalib dan dihinakan oleh orang-orang kafir, yang tentunya berarti tidak disucikan dari orang-orang kafir dan ini adalah mustahil. Karena Allah dalam ayat di atas menyatakan “Dan Aku mensucikanmu dari orang-orang kafir”.
Bahkan kalimat wafat dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, karena diambil dari kata-kata qaabiduka yang bermakna menggenggam atau mengambil. Maka bisa bermakna mengambil ruh dan jasadnya (seperti IsaAlaihis salam), atau mengambil ruh tanpa jasadnya (yaitu kematian) atau mengambil kesadarannya dalam keadaan ruh dan jasadnya masih di tempatnya (yakni ketika tidur) sebagaimana Allah pergunakan kalimat wafat dalam ayat-ayat berikut:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya …”(az-Zu-mar: 42)
Dan Dialah yang “menidurkan”mu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari… (al-An’aam: 60)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahselanjutnya: “…Oleh karena itu berkata para ulama bahwa maknamutawaffiika adalah qaabidluka(mengambil kamu), yaknimengambil ruh dan jasadmu. Tidak mesti lafadz tuwaffa bermakna mengambil ruh saja tanpa jasad. Tidak mesti pula jasad dengan ruh bersama-sama. Keduanya harus dipahami sesuai dengan konteks kalimatnya. (Majmu’ Fatawa, juz IV hal. 323)
Kita katakan: bahwa konteks kalimat dalam ayat tentang Isa Alaihis salam di atas sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’alamenyebut seiring dengan kalimat wafat kalimat raafi’uka yang bermakna mengangkatmu.
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan makna wafat dalam ayat di atas sebagai berikut: “Yang lebih utama dari pendapat-pendapat ini untuk dikatakan shahih menurut kami adalah ucapan yang berkata bahwa makna mutawaffiika adalah “Aku memegangmu dan mengangkatmu (ruh dan jasadnya) kepada-Ku”, karena mutawatirnya hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang memberitakan bahwa Isa akan turun dan membunuh Dajjal. (Tafsir ath-Thabari, juz 3, hal. 291)


Referensi:
Bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 66/Th. II, tanggal 10 Jumadi Awwal 1426 H/17 Juni 2005 M
Bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 70/Th. II tgl 08 Jumadi tsani 1426 H/15 Juli 2005 M,
Bulletin Manhaj Salaf, Edisi 71/Th. II tgl 15 Jumadi tsani 1426 H/22 Juli 2005 M, 
“TAFSIR BISMILLAH/BASMALLAH” بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ  “Bismillaahirrahmanirahim”| As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

“TAFSIR BISMILLAH/BASMALLAH” بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ  “Bismillaahirrahmanirahim”| As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Desember 19, 2018 Add Comment

Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Firman Allah:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.

Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.

Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang:

Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.

Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.

Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda:

وَمَنْ كَانَ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ- عَلَى اسْمِ اللَّهِ-

“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah“[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah”[2]

Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.

Lafzhul Jalalah (اللهِ).

Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).

Ar-Rahmaan  (الرَّحْمنِ)

Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.

Ar-Rahiim(الرَّحِيمِ)

Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.

Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.

Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata: “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.

Bantahan terhadap mereka dari dua sisi:

Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.

Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq سبحانه و تعالى adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.

Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah سبحانه و تعالى. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah سبحانه و تعالى.

Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”

MASALAH

Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.

Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.

Inilah pendapat yang benar. Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.

Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه  bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم  bersabda : Allah سبحانه و تعالى  berfirman:

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”. Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca: “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]

Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik رضي الله عنه, ia berkata :

صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ {الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا

“Aku pernah shalat di belakang Nabi صلی الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar dan Utsman رضي الله عنهم. Mereka semua membuka shalat dengan membaca: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca: ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]

Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.


[1]  HR. Bukhari dan Muslim

[2]  HR. Bukhari dan Muslim

[3]  HR. Muslim

[4]  HR. Muslim

Disalin dari E-Book kitab Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

***

Inikah Dalil Alquran Tentang Ucapan Selamat Natal ?

Desember 19, 2018 Add Comment

Bolehkah mengucapkan "selamat natal" dengan dalil surat Maryam ayat 33, "Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku”?
Jawab: Perlu diketahui bahwa ucapan "selamat natal" hukumnya harom berdasarkan ijma' (kesepakatan) para Ulama. Dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه
“Tahniah (ucapan selamat) atas syiar-syiar orang kafir yang menjadi kekhususan mereka hukumnya harom berdasarkan ijma' (kesepakatan) para Ulama seperti mengucapkan selamat atas hari-hari raya mereka atau puasa mereka. Umpamanya dengan mengatakan, “Hari yang berkah atasmu”, atau “Selamat hari raya”, atau yang semisalnya maka sekalipun si pengucap selamat dari kekufuran, akan tetapi dia telah terjerumus dalam perbuatan yang harom. Ucapan seperti itu sama seperti memberi ucapan selamat terhadap sujudnya mereka kepada salib, bahkan hal tersebut lebih berat lagi dosanya di sisi Allah dan lebih besar lagi kemurkaan-Nya ketimbang mengucapkan selamat atas meminum khomr, membunuh orang, berzina atau kemaksiatan yang semisal.” (Ahkam Ahlidz Dzimmah 1/205)
Adapun firman Allah:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Maryam: 33)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari (310 H) menerangkan dalam tafsirnya:
والأمنة من الله عليّ من الشيطان وجنده يوم ولدت
“Dan penjagaan Allah terhadapku (Nabi Isa) dari syaithon dan tentaranya ketika aku dilahirkan.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an 18/193)
Al-Imam Al-Baghowi Asy-Syafii (510 H):
السلامة عند الولادة من طعن الشيطان
“Keselamatan dari celaan syaithon pada saat kelahiran Nabi Isa ‘alaihissalam.” (Ma’alimut Tanzil 5/230)
Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafii (774 H):
ولكن له السلامة في هذه الأحوال
“Akan tetapi Allah selamatkan Nabi Isa pada saat-saat tersebut (saat dilahirkan, saat diwafatkan, saat dibangkitkan).” (Tafsirul Qur’anil ‘Adzhim 5/230)
Dengan demikian makna ayat yang dimaksud adalah penjagaan Allah terhadap Nabi Isa 'alaihissalam. Sama sekali tidak menunjukkan halalnya mengucapkan “selamat natal” yang berarti mengakui kelahiran anak Tuhan. Allah telah mengingatkan dalam surat yang sama:
"Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung hancur lantaran mereka mendakwakan Allah punya anak." (Maryam: 90-91)
Maka dalilnya sudah benar merujuk kepada ayat Al-Qur'an, yang salah adalah istidlalnya yaitu cara pendalilan dan ini termasuk penyimpangan.
Hal lain yang perlu dimengerti bahwa umat Islam meski dilarang mengucapkan selamat natal dan dilarang memakai atribut-atribut natal, akan tetapi hal itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berlaku adil terhadap umat-umat yang lain. 
_______________________
✍🏻 Fikri Abul Hasan
Telegram #manhajulhaq

Saudaraku Jangan Tertipu Dengan Ini.....

Desember 17, 2018 Add Comment

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
Hatim Al Ashom berkata:
Jangan tertipu dengan tempat yang suci..
Tidak ada tempat yang lebih suci dari surga..
Namun nabi Adam berbuat kesalahan di dalamnya..

Jangan tertipu dengan banyaknya ibadah..
karena Iblis tadinya ahli ibadah..
tapi ia melakukan perbuatan yang nista..

Jangan tertipu dengan banyaknya ilmu..
karena Bal'am bin ba'ura diberi ilmu yang dalam..
tetapi ia lepas darinya..
padahal ia mengetahui nama yang paling agung..

Jangan tertipu karena berteman dengan orang orang shalih..
karena tidak ada yang lebih shalih dari Rasulullah..
tetapi kaum munafiqin tidak beriman walaupun bertemu dengan Nabi..

Telegram.me/alilmu

INGAT, AHAD YA BUKAN MINGGU

Desember 16, 2018 Add Comment


Info Kajian Salafy Sulawesi:
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹

Kronologis lenyapnya hari Ahad
~~~~~~~~~~

Alkisah; Sebelum Tahun 1960, tak pernah dijumpai nama hari yg bertuliskan "MINGGU" selalu tertulis hari "AHAD".

Begitu juga penanggalan di kalender tempo dulu,

 masyarakat Indonesia tidak mengenal sebutan "Minggu".
Kita semua sepakat bahwa kalender atau penanggalan di Indonesia telah terbiasa dan terbudaya utk menyebut hari "AHAD" di dalam setiap pekan (7 hari) dan telah berlaku sejak periode yg cukup lama.

- Bahkan telah menjadi ketetapan di dalam Bahasa Indonesia.

- Lalu mengapa kini sebutan hari Ahad berubah menjadi hari Minggu?

- Kelompok dan kekuatan siapakah yang mengubahnya?

- Apa dasarnya ?

- Resmikah dan ada kesepakatankah?

Kita ketahui bersama bahwa nama hari yang telah resmi dan kokoh tercantum ke dalam penanggalan Indonesia sejak sebelum zaman penjajahan Belanda dahulu adalah dgn sebutan :

1. "Ahad" (al-Ahad = hari kesatu),

2. "Senin" (al-Itsnayn=hari kedua),

3. "Selasa" (al-Tsalaatsa' = hari ketiga)

4. "Rabu" (al-Arba'aa = hari keempat),

5. "Kamis" (al-Khamsatun = hari kelima),

6. "Jum'at" (al-Jumu'ah = hari keenam = hari berkumpul/berjamaah),

7. "Sabtu" (as-Sabat=hari ketujuh).

Nama hari tersebut sudah menjadi kebiasaan dan terpola di dalam semua kerajaan di Indonesia.

- Semua ini adalah karena jasa positif interaksi budaya secara elegan dan damai serta besarnya pengaruh masuknya agama Islam ke Indonesia yang membawa penanggalan Arab.

Sedangkan kata "MINGGU" diambil dari bahasa Portugis, "Domingo" (dari bahasa Latin Dies Dominicus yang berarti "Dia Do Senhor", atau "HARI TUHAN KITA").

=> Dalam bahasa Melayu yang lebih awal, kata ini dieja sebagai "Dominggu" dan baru sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini dieja sebagai "Minggu".

Jadi, kita pasti paham siapa yang dimaksud "TUHAN KITA", bagi yg beribadah di hari minggu.

Bagaimana ini bisa terjadi?

- Ada yang mengatakan dengan dana yang cukup besar dari luar Indonesia, dibuat membiayai monopoli pencetakan kalendar selama bertahun-tahun di Indonesia.

- Percetakan dibayar agar menihilkan (0) kata "AHAD" diganti dengan "MINGGU".

- Setetah kalender jadi, lalu dibagikan secara gratis atau dijual obral (sangat murah).
Dampaknya adalah:

- Masyarakat Indonesia secara tak sadar, akhirnya kata *Ahad* telah terganti menjadi *Minggu* di dalam penanggalan Indonesia.

Pentingkah?
Jawabannya :

"SANGAT PENTING" untuk upaya mengembalikan kata "Ahad" .

Bagi umat Islam adalah penting, karena :

- Kata "Ahad" mengingatkan kepada nama "Allah عزوجل " yg Maha "Ahad" sama dengan "MahaTunggal"/ "Maha Satu" / "Maha Esa".

- "Allah" tidak beranak dan tidak diperanakkan

- Kata "Ahad" dalam Islam adalah sebagai bagian sifat "Allah عزوجل " yang penting dan mengandung makna utuh melambangkan "ke-Maha-Esa-an Allah عزوجل ".

Oleh karena itu :

- Mari kita ganti "MINGGU" menjadi "AHAD".

- Apabila dalam 7 (tujuh) hari biasa disebut "SEMINGGU", yang tepat adalah disebut dengan "SEPEKAN", dan bukan "minggu depan", tapi "pekan depan".

Mari mulai sekarang kembalikanlah hari AHAD.
Lupakanlah minggu. 

Semoga hari ini penuh berkah buat kita dan keluarga

🌏📲 WhatsApp INFO UMUM

https://t.me/infokajiansalafysulawesi

🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹

KEUTAMAAN ‘AQIDAH TAUHID [2]

Desember 15, 2018 Add Comment

Dari ‘Ubadah Ibnus Shomit -rodhiallohu ‘anhu- berkata: telah bersabda Rosululloh [shollallohu ‘alaihi wa sallam]:
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan rosul (utusan-Nya), dan bahwasanya ‘Isa adalah hamba-Nya dan rosul-Nya dan kalimat-Nya yang dihembuskan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah haq (benar adanya) dan neraka adalah haq maka Alloh masukkan dia ke dalam surga atas apa yang dahulu dia perbuat”.
[[HR. Bukhori (3435) dan Muslim (46-47) dan Ahmad (5/324)]]
~~~~~~~~~~
Berkata Syaikh Robi’ bin Hadi ‘Umair al-Madkholi hafizhohulloh:
Faedah yang diambil dari hadits tersebut:
1. Diambil faedah darinya keutamaan mentauhidkan Alloh, dan bahwa Alloh akan menghapuskan dosa-dosa dengannya.
2. Keluasan karunia Alloh dan kasih sayangnya kepada para hamba-Nya.
3. Diambil faedah dari sabda beliau di dalam kalimat: Muhammad adalah “hamba-Nya dan rosul-Nya”: mengenal apa-apa yang menjadi hak bagi para Nabi dan terkhusus Muhammad dengan tanpa berlebihan dan tanpa meremehkan.
4. Bahwa para pelaku maksiat dari kalangan orang-orang yang bertauhid (muwahhidin) mereka tidaklah kekal di dalam neraka.
5. Wajibnya beriman kepada surga dan neraka.
Dinukil dari:
//www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146089
Alih bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله
WA Salafy Kendari

KEUTAMAAN ‘AQIDAH TAUHID [1]

Desember 13, 2018 Add Comment

Dari ‘Ubadah Ibnus Shomit -rodhiallohu ‘anhu- berkata: telah bersabda Rosululloh [shollallohu ‘alaihi wa sallam]:

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan rosul (utusan-Nya), dan bahwasanya ‘Isa adalah hamba-Nya dan rosul-Nya dan kalimat-Nya yang dihembuskan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan surga adalah haq (benar adanya) dan neraka adalah haq maka Alloh masukkan dia ke dalam surga atas apa yang dahulu dia perbuat”.

[HR. Bukhori (3435) dan Muslim (46-47) dan Ahmad (5/324)]

~~~~~~~~~~

Berkata Syaikh Robi’ bin Hadi ‘Umair al-Madkholi hafizhohulloh:

Makna global:

Hadits ini mengandung 5 perkara yang barangsiapa beriman dengannya dan beramal dengan apa yang ditunjukkan atasnya baik dalam zhahir maupun batinnya maka dia masuk surga:

Pertama: ucapannya: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Alloh semata yang tidak ada sekutu baginya” yakni beriman kepada Alloh dari kejujuran dan keyakinan, dalam keadaan mengakui akan keesaan bagi Alloh Ta’ala dan berlepas diri dari peribadatan selain-Nya, dan beramal dengan apa yang telah ditunjukkan atasnya persaksian bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) kecuali Alloh dalam bentuk mengikuti segala perintah Alloh dan menjauh segala larangan-Nya baik secara ucapan maupun amalan.

Kedua: “Barangsiapa bersaksi bahwa Muhammad adalah rosul (utusan) Alloh “: yakni barangsiapa meyakini dengan keyakinan yang kokoh yang tidak akan menerima keraguan bahwa Muhammad adalah Rosululloh yang telah Alloh utus kepada kedua makhluk dari jin dan manusia dengan sebuah risalah yang menyeluruh lagi sempurna, dan bahwasanya beliau adalah penutup para Nabi, dan risalahnya adalah penutup semua risalah, dan beriman bahwasanya beliau adalah seorang hamba dari hamba-hamba Alloh yang telah Alloh muliakan dengan mengemban risalah-Nya kepada alam semesta kemudian membenarkannya terhadap apa-apa yang diberitakannya dan mentaatinya terhadap apa yang dia perintahkan serta menjauhi dari apa-apa yang telah dilarang darinya dan dicerca.

Ketiga: meyakini bahwa ‘Isa -‘alaihis salam- seorang hamba dari hamba-hamba Alloh dan seorang rosul dari rosul-rosul-Nya, dan bahwasanya beliau bukanlah anak jadah sebagaimana yang disangkakan kaum Yahudi dan bukan pula dia adalah Alloh dan bukan pula putra Alloh dan bukan merupakan trinitas sebagaimana yang disangkakan kaum Nashrani, bahkan dia adalah seorang hamba dari hamba-hamba Alloh yang telah Alloh utus dia kepada bani Israel yang mengajak mereka kepada peribadatan kepada Alloh semata.

Dan Alloh telah menciptakan ‘Isa dengan firman-Nya “kun (jadilah)” yang menunjukkan penciptaan dan bahwasanya dia adalah sebuah ruh dari ruh-ruh yang telah Alloh ciptakan dimana sesungguhnya permisalan ‘Isa di sisi Alloh seperti permisalan Adam yang telah Alloh ciptakan dia dari tanah kemudian Alloh katakan kepadanya: jadilah! Maka jadilah dia.

Keempat: “Bahwa surga adalah haq (benar adanya)” yaitu meyakini bahwa surga yang telah Alloh janjikan bagi orang-orang yang taat dari para hamba-Nya adalah benar ada dan nyata tidak ada keraguan padanya dan bahwasanya surga adalah tempat tinggal terakhir lagi kekal bagi orang-orang yang beriman dengannya dan mengikuti para rosul-Nya.

Kelima: “Bahwa neraka haq” yaitu meyakini bahwa neraka yang telah Alloh ancam dengannya orang-orang kafir dan orang-orang munafik adalah nyata dan benar tidak ada keraguan padanya yang telah Alloh persiapkan bagi siapa saja yang kafir (menolak beriman) kepada-Nya dan menentang-Nya serta bermaksiat kepada-Nya.

Semua perkara yang lima ini; barangsiapa membenarkan dan beriman dengannya serta beramal dengan konsekuensinya maka Alloh masukkan dia ke dalam surga, sekalipun dia tidak sempurna dan dia memiliki dosa-dosa dan yang demikian itu disebabkan tauhidnya dan keikhlasannya dalam beribadah kepada Alloh semata.

Dinukil dari:
//www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=146089

Alih bahasa:
Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu ‘Abduh حفظه الله

WA Salafy Kendari

Jenis-Jenis Tauhid – Pengenalan Tauhid Rububiyyah

Desember 09, 2018 Add Comment

Jenis-Jenis Tauhid – Pengenalan Tauhid Rububiyyah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?

Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?

Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.

Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah

Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)

Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.

Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )

Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:

“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.

Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.

Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah

Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:

“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:

“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)

Allah berfirman:

“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim  mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

Wallahu ‘alam

(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi, judul asli Mengenal Allah. Url sumber //www.asysyariah.com/print.php?id_online=30)

Jangan Mengaku Hamba Allah Jika !?

Desember 05, 2018 Add Comment
"Tidak Cukup Mengakui Allah Sebagai Pencipta, Jika Tidak Beribadah Hanya Kepada Allah"

Di tulis Oleh 
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُؤۡمِنُ أَكۡثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ

Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali mereka berbuat kesyirikan (dalam keimanannya) (Q.S Yusuf ayat 106)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:
(Sahabat Nabi) Ibnu Abbas berkata: Di antara bentuk keimanan mereka adalah jika dikatakan kepada mereka: Siapa yang menciptakan langit? Siapa yang menciptakan bumi? Siapa yang menciptakan gunung? Mereka akan berkata: Itu adalah Allah. (Namun) mereka berbuat syirik kepada Allah. Demikian pula (penafsiran) Mujahid, Atha’, Ikrimah, asy-Sya’biy, Qotadah, ad-Dhohhaak, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya kaum musyrikin mengucapkan dalam talbiyah mereka: LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA. ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA. TAMLIKUHU WAMAA MALAK (Kami datang memenuhi panggilanMu (Ya Allah). Tidak ada sekutu bagiMu. Kecuali sekutu yang Engkau miliki. Engkau memiliki sekutu itu beserta kepemilikannya).

Di dalam hadits yang shahih, bahwasanya mereka berkata: LABBAIKA LAA SYARIIKA LAK (Kami datang memenuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu), Rasulullah shollallahu alaihi wasallam segera berkata: “Cukup sampai di situ…cukup sampai di situ. Jangan mengucapkan lebih dari itu” (Tafsir al-Qur’an al-Adzhim karya Ibnu Katsir (4/418))

Ikrimah1 berkata: “(Jika) engkau bertanya kepada mereka: Siapa yang menciptakan mereka? Siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Itulah keimanan mereka kepada Allah, dalam keadaan mereka (juga) menyembah selain-Nya” (Tafsir atThobariy (16/286))

Mujahid2 berkata: “Keimanan mereka adalah ucapan mereka: Allah Pencipta kita, Allah Pemberi rezeki kepada kita, Allah yang mematikan kita. Ini adalah keimanan (mereka), namun bersamaan dengan itu mereka berbuat syirik dengan menyembah (juga) kepada selainNya” (Tafsir atThobariy (16/287))

Qotadah3 berkata: ‘Tidaklah engkau bertanya kepada seorang pun dari kaum musyrikin: Siapa Rabbmu? Kecuali pasti ia akan menjawab: Rabbku adalah Allah. (Meski demikian) ia berbuat syirik dalam hal itu (Tafsir atThobariy (16/288))

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam4 berkata: “Tidaklah ada seseorang yang menyembah juga kepada selain Allah kecuali ia beriman kepada Allah. Ia mengetahui bahwasanya Allah Azza Wa Jalla adalah Rabbnya. Allah adalah Pencipta dan Pemberi rezeki kepadanya. (Namun) ia berbuat syirik menyekutukanNya. Tidakkah engkau melihat bagaimana ucapan Ibrahim:

أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الأَقْدَمُونَ فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلا رَبَّ الْعَالَمِينَ

Tidakkah kalian lihat, apa yang disembah oleh kalian dan nenek moyang kalian terdahulu. Sesungguhnya sesembahan-sesembahan itu adalah musuh bagiku kecuali Rabb semesta alam (Q.S asy-Syu’araa’ ayat 75-77)

Ibrahim mengetahui bahwasanya mereka menyembah Rabb semesta alam juga bersamaan dengan menyembah (sesembahan lain). Tidaklah ada seorang pun berbuat syirik kepada Allah kecuali ia beriman kepadaNya (sekedar mengakui Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki, pent).

Tidakkah engkau melihat bagaimana dulu bangsa Arab bertalbiyah dengan mengucapkan: LABBAIKALLAAHUMMA LABBAIK. LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA LABBAIK. ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA. TAMLIKUHU WAMA MALAK (Kami datang memenuhi panggilanMu Ya Allah. Kami datang memenuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMU. Kecuali sekutu yang Engkau miliki. Engkau memiliki sekutu itu beserta kepemilikannya (Tafsir Ibnu Abi Hatim (8/472)).


Catatan Kaki:
1) Ikrimah adalah murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas dalam hal tafsir. Beliau juga mengambil ilmu dari para Sahabat lain seperti Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Ali bin Abi Tholib. Wafat tahun 104 Hijriyah.
2) Mujahid bin Jabr al-Makkiy maula as-Saaib bin Abis Saaib al-Makhzuumiy. Beliau dilahirkan tahun 21 Hijriyah. Beliau mengambil ilmu tafsir al-Quran dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Mujahid bahwasanya Mujahid berkata: “Aku membentangkan mushaf di hadapan Ibnu Abbas dari al-Fatihah sampai akhir mushaf sebanyak 3 kali. Aku berhenti pada setiap ayat bertanya kepada beliau”. Mujahid meninggal di Makkah dalam keadaan sujud pada tahun 104 Hijriyah pada usia 83 tahun (Ushul fit Tafsir karya Syaikh Ibnu Utsaimin)
3) Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah as-Sadusiy al-Bashriy, dilahirkan dalam keadaan buta pada tahun 61 Hijriyah. Beliau bersemangat dalam menuntut ilmu. Beliau memiliki hafalan yang sangat kuat sampai beliau berkata tentang dirinya: “Aku tidak pernah berkata kepada orang yang menyampaikan ilmu padaku: Ulangi lagi. Tidaklah telingaku mendengar sesuatu kecuali langsung dihafal oleh hatiku” (Ushul fit Tafsir karya Syaikh Ibnu Utsaimin). Qotadah adalah murid Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud dalam tafsir alQuran.
4) Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah ahli tafsir dari Madinah. Wafat tahun 82 Hijriyah.